Feminisme Kehilangan Arti
![]() |
Lots of women are fighting the system from within. Shutterstock |
Feminisme merupakan suatu
istilah yang memiliki banyak arti. Contohnya, ada yang menggunakan istilah
feminisme untuk menggambarkan suatu gerakan yang menyuarakan kesetaraan gender,
kemudian ada yang mengartikan feminisme sebagai suatu tameng atas ketidakadilan
yang menyerang kaum wanita, bahkan ada pula yang mendefinisikan feminisme
sebagai suatu gerakan tak terlihat yang dapat memperjuangkan hak-hak wanita.
Terlepas dari arti yang beragam,
kita semua tentu setuju bahwa feminisme pada dasarnya diartikan sebagai suatu
gerakan yang terbentuk untuk melawan patriarki. Feminisme bukanlah suatu
gerakan yang baru terbentuk diera modern. Jauh sebelum Women’s March, #metoo
dan #timesup, Habis Gelap Terbitlah Terang merupakan salah satu
kampanye terbaik dalam menyuarakan feminisme pada masanya. Jauh sebelum Emma
Watson menjadi trending topic karena berpidato mengenai gender
equality, R.A Kartini sudah terdahulu viral karena keberaniannya melawan
patriarki. R.A Kartini merupakan pembuka gerbong feminisme pertama di
Indonesia. Tanpa melabeli dirinya seorang feminist, ia tetap berjuang
menyuarakan hak-hak perempuan yang ditindas pada masa itu.
Berbeda dengan Kartini yang
berjuang mengutarakan ketidakadilan terhadap perempuan selama puluhan tahun,
kini banyak dari kita yang ketika menulis satu cuitan mengenai feminisme saja
sudah melabeli diri sebagai feminist. Hal ini tidaklah salah, karena memang
tidak ada indikator yang jelas mengenai – apa yang harus dilakukan untuk
mendapatkan predikat feminist. Dan tentunya, setiap orang tentu memiliki
caranya masing-masing dalam memperjuangkan kesetaraan gender dan melawan
patriarki.
Namun sayangnya, saat ini banyak
diantara kita yang salah persepsi dan menjadikan feminisme sebagai justifikasi
terhadap pelanggaran nilai dan norma yang mengatasnamakan hak perempuan.
Seperti contohnya, ada beberapa perempuan yang mabuk dan pulang larut, menjustifikasi
perilakunya sebagai bentuk dari feminisme. Kemudian, ada juga perempuan yang
mempunyai lebih dari satu partner sex atau orientasi seksual yang tidak straight,
atas nama feminisme mereka berasumsi bahwa tidak ada yang salah akan hal itu,
sebab mereka mempunyai hak penuh atas tubuhnya. Padahal, tak ada satupun dari perilaku
tersebut yang layak mendapatkan justifikasi baik itu oleh laki-laki maupun
perempuan.
Banyak dari kita yang
menyalahartikan feminisme dan patriarki. Perilaku menyimpang yang biasanya
dilakukan oleh laki-laki bukanlah patriarki, sehingga kaum perempuan tak perlu
melakukan hal serupa dengan dalil “untuk mengimbangi”. Banyak hal yang perlu
disoroti dari patriarki, namun seringkali tak kita sadari, seperti
ungkapan-ungkapan berikut ini.
“Perempuan
harus cantik, tangannya harus lembut masa kasar kayak tangan laki-laki.
Kulitnya harus putih, masa kusam kayak laki-laki. Perempuan harus bisa masak,
nanti kalau sudah menikah, masa suaminya dikasih mie tiap hari. Perempuan harus
terbiasa bangun pagi, supaya nanti tidak telat buatkan kopi. Sudahlah,
sekolahnya tak usah tinggi-tinggi toh nanti kalau sudah jadi seorang istri,
karir tak lagi penting. Si A tak apa belum menikah di usia 35, toh dia
laki-laki selama mapan dan punya karir, perihal calon istri tinggal memilih.
Aduh, usia 25 masih fokus studi? Mau nikah usia berapa? Perempuan kalau
mendekati usia 30 sudah tak muda lagi, tak boleh pilih-pilih.”
Ungkapan-ungkapan diatas
hanyalah sebagian kecil ekspresi yang terbiasa kita dengar sehari-hari.
Manifestasti dari patriarki yang hanya dapat diamati pun masih jauh lebih
banyak lagi. Menjadi salah satu bukti bahwa hingga saat ini, mimpi Kartini
belum sepenuhnya terealisasi. Sungguh ironis, setiap hari berdiskusi mengenai gender
equality, namun feminisme malah dijadikan sebagai kedok dan justifikasi
atas tindakan negatif. Sejak awal kita sepakat, bahwa feminisme pada dasarnya
adalah suatu gerakan yang terbentuk untuk melawan patriarki. Lalu, mengapa kita
khianati? Mengapa feminisme menjadi kehilangan arti?
Comments
Post a Comment