dosen killer

anastasiiakucherenkothumb

Kita semua pasti punya indikator tersendiri buat mendefinisikan sosok dosen killer. Seperti apa sih dosen killer versi kamu? Some people think that dosen killer adalah dosen yang gets angry easily, telat dikit kena yelling, salah dikit diomelin. And some of them might think that dosen killer adalah dosen yang quite ignorant, unbothered, tugasnya banyak banget, tapi tau tau kasih nilai C. And dosen killer versiku adalah beliau-beliau yang killin our mental health slowly. Yep, I define dosen killer sebagai dosen yang ngga baik bagi kesehatan mental mahasiswanya.

Okay let’s talk!

Disclaimer: isitlah dosen killer yang dipakai dalam sheet ini adalah yang didefinisikan dgn versiku yaa. That one who ain’t good for student’s mental health.

Selama 7 semester kuliah di kampus biru ini, aku dipertemukan dengan satu dosen killer yang luar biasa impactful. Beliau adalah Ibu X. She taught Behavior Change subject at my class. She’s incredibly smart, I loved the way she explains something, kinda understandable. Until one day, I made mistake. “describe yourself” she said. Apa yang ada dipikiran kita when someone ask it? “Describe”? Gambarkan? Does it mean I have to put anything that possibly describing of who I am? Or just draw?

Dan aku memang salah persepsi saat itu. I didn’t draw myself, but I did describe me by putting every relatable stuff like glasses, korean and train. I explained it in front of class, I talked about things that written on post it notes. And dude, do you know what I’ve got?

Karena aku yang mispersepsi, Ibu X humiliated me. Beliau ngejudge aku habis-habisan.

Kamu ngga dewasa yah. Sangat kekanak-kanakan. Semuanya harus tentang kamu. Kamu itu bener-bener ngga dewasa. Kamu ngga cocok jadi peksos. Pindah aja kuliahnya. Kamu ngga cocok. Disini bukan tempat kamu. Mumpung masih semester 3, mending pindah aja kuliahnya. Ngga cocok sama sekali kamu disini, soalnya kamu tipe orang yang egois. Semuanya tentang kamu. Pindah aja ya.”

That’s what she said, in front of 35 people. The moment when she said that, I did nothing but just tried to hold my tears. After the class had finished, I ran to my friend’s dorm and I cried loudly like a shit. That was the most painful words I’ve ever heard.

Kenapa Ibu X ngga stopin aku aja dari awal kalo tugasku emang salah..

Kenapa ngga bilang aku bodoh aja daripada nyuruh pindah kuliah..

Ibu X kan dosen.. peksos juga, kok bisa sih penuh judgment gitu..

Kok bisa sih bilang aku egois dan self-centered gitu padahal diantara puluhan orang di kelas, aku loh orang yang bersedia bantuin temenku ngerjain tugas sejak semester 1.. Aku sering sacrifice myself just to help people around me..

Kok bisa sih bilang aku kekanak-kanakan padahal selama kuliah aku sambil kerja cari uang sana sini buat menuhin kebutuhan yang ngga tercover sama orang tuaku.. aku bahkan udah ngga pernah ngelakuin hal yg aku mau…

Kok bisa sih Ibu X nyuruh aku pindah kuliah padahal buat kuliah disini aja aku udah struggle banget. Buat mau kuliah disini aja aku gap year loh setahun buat kerja dan ngumpulin uang dulu.. Kok Ibu X tega banget sih..

Atas dasar apa Ibu X menilai semua itu? Atas dasar aku yg miss-persepsi about that “describe yourself”? isn’t it pathetic?

Pertanyaan-pertanyaan itu ganggu pikiranku. Ganggu banget. Ngga cuma overthink, my body started to react everytime I see her. Tiap kali liat Ibu X di kampus, dari radius 50 meter ini jantung udah deg-degan, tangan gemetar, badan keringet dingin, sampe ngos-ngosan malah. Ada impact lain juga. Setelah kejadian yang memalukan itu, aku udah ngga pernah aktif lagi di kelas. Sekalipun ngga ngerti, aku ngga pernah nanya. Kalopun ngerti, aku ngga pernah jawab. Kecuali kalau dosennya yang ga punya track record yang buruk di mata mahasiswa.

Beberapa bulan setelah kejadian itu, aku belajar stoicism. Sekarang aku udah punya self control yang stabil. Sekarang aku udah berdamai dengan that shitty day, meskipun secara fisik tubuhku masih bereaksi kalau ketemu beliau secara langsung.

But at least I have this thought..

Oh yaudah, udah lewat. Beliau ngejudge ini itu mungkin lagi ngomongin diri sendiri. Mungkin harinya lagi berat dan butuh pelampiasan, jadi melampiaskannya ke aku. Take a deep breath, ambil makna positifnya, Ibu X adalah salah satu contoh tipe orang nyebelin yang sepanjang hidup akan aku temui, jadi santai aja biar nanti ngga kaget lagi kalo ketemu orang yang seperti itu. Gapapa, Ibu X berhak buat ngomong ini itu tentangku karena beliau emang didn’t know and will never know what I’ve been through. It doesn’t matter what she said about me, it won’t affect my value as who I am. That’s okay, she was being rude because she ain’t loved. That’s okay. Even after that shit happened, I grow up as a better person, right? That’s okay…..

Dan, jadi catatan aja, untuk aku, kamu dan kita kalau nanti jadi dosen jangan seperti itu ya. Kalau mahasiswanya salah ngerjain tugas, entah karena mispersepsi atau ngga ngerti, cukup tegur aja. Kalo mau marah, boleh marah tapi tolong dengan tujuan untuk mengarahkan yaa. Kemampuan dan daya tangkap orang itu beda-beda, salah bukan berarti layak untuk dihujat apalagi kalau sampe dirusak kesehatan mentalnya. Iya kan?

Ngga harus nunggu jadi dosen sih. Sekarang pun kita harus membiasakan untuk be nice to each other. If we can’t be nice? Be silent. As simple as that.

Stop saying painful things because we don’t know what they’ve been through. We will never know what kind of battle they’re facing..

So please, be nice..

Well, setelah cerita ini aku jadi ingin berterimakasih dan sun tangan sama Bapak-Ibu dosen berhati baik yang profesional dan ngga pernah ngejudge personally mahasiswanya 🥺

Panjang umur Bapak-Ibu dosen! 💙 

Comments

Popular posts from this blog

For you.

Untitled, 2021

i wish my parents had known it